Saturday 8 October 2016

KEBIJAKAN FULL DAY SCHOOL DALAM PERSEPEKTIF LOCAL WISDOM



I.         Pendahuluan
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam serta zamannya itu sendiri. Tidak ragu lagi, era global – kadang-kadang juga disebut sebagai era kesejagatan – menimbulkan perubahan penting dalam berbagai aspek kehidupan; ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, pendidikan, dan lain-lain. Untuk itu, pendidikan Islam perlu kiranya beradaptasi atas globalisasi tersebut. Dengan demikian, arah baru pengembangan pendidikan Islam perlu adanya dalam hal ini.
Modernisasi menuntut diferensiasi sistem pendidikan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi berbagai diferensiasi sosial, tehnik, dan manajerial. Antisipasi dan akomodasi tersebut haruslah dijabarkan dalam bentuk formulasi, adopsi dan implementasi kebijaksanaan pendidikan dalam tingkat nasional, regional dan lokal[1]. Dalam konteks modernisasi administatif ini, sistem dan lembaga pendidikan Islam perlu mensimbiosis ke dalam sistem sekolah. Dan inilah yang dinamakan dengan pendidikan terpadu dengan sistem full day school. Dalam pelaksanaannya, terlepas dari kelebihan dan kekurangannnya, penyeimbangan pendidikan Islam atas majunya zaman di atas, dapat kita temukan pada system pendidikan full day school dan terpadu.
Lantas mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian dan konsepnya, tujuannya, dan system pembelajarannya, akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

II.      Pembahasan
A.                Pengertian dan tujuan full day school dalam Local Wisdom
Menurut etimologi, kata full day school berasal dari Bahasa Inggris. Terdiri dari kata full mengandung arti penuh, dan day  artinya hari. Maka full day mengandung arti sehari penuh. Full day juga berarti hari sibuk. Sedangkan school artinya sekolah[2]. Jadi, arti dari full day school jika dilihat dari segi etimologinya berarti sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan sehari penuh.
Sedangkan menurut terminologi atau arti secara luas, Full day school mengandung arti system pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar sehari penuh dengan memadukan system pengajaran yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran serta pengembangan diri dan kreatifitas[3].  pelaksanaan  pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah mulai pagi hingga sore hari, secara rutin sesuai dengan program pada tiap jenjang pendidikannya. Dalam full day school, lembaga bebas mengatur jadwal mata pelajaran sendiri dengan tetap mengacu pada standar nasional alokasi waktu sebagai standar minimal dan sesuai bobot mata pelajaran, ditambah  dengan model-model pendalamannya. Jadi yang terpenting  dalam full day school adalah pengaturan jadwal mata pelajaran. Program ini banyak ditemukan pada sekolah tingkat dasar SD/MI swasta yang berstatus unggulan. Biasanya, sekolah tersebut tarifnya mahal dan FDS bagian dari program favorit yang “dijual” pihak sekolah.
Full Day Sshool memang menjanjikan banyak hal, diantaranya: kesempatan belajar siswa lebih banyak, guru bebas menambah materi melebihi muatan kurikulum biasanya dan bahkan mengatur waktu agar lebih kondusif, orang tua siswa terutama yang bapak-ibunya sibuk berkarier di kantor dan baru bisa pulang menjelang maghrib mereka lebih tenang karena anaknya ada di sekolah sepanjang hari dan berada dalam pengawasan guru. Dalam full day school  lamanya waktu belajar tidak dikhawatirkan menjadikan beban karena sebagian waktunya digunakan untuk waktu-waktu informal. Cryan dan Others dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya full day school memberikan efek positif bahwa  anak-anak akan lebih banyak belajar dari pada bermain, karena lebih banyak waktu terlibat dalam kelas yang bermuara pada produktivitas yang tinggi, juga lebih mungkin dekat dengan guru, dan siswa juga menunjukkan sikap yang lebih positif, terhindar dari penyimpangan-penyimpangan karena seharian berada di kelas dan dalam pengawasan guru[4].
Dilihat dari kurikulumnya, Sistem pendidikan full day school memiliki relevansi dengan pendidikan terpadu. Pendidikan terpadu ini banyak diterapkan dalam lembaga pendidikan umum yang berlabel Islam. Dalam konteks pendidikan Islam, pendidikan terpadu artinya memadukan ilmu umum dengan ilmu agama secara seimbang dan terpadu[5]. Model pendidikan terpadu ini menjadi alternative penghapusan bentuk dikotomi pendidikan ke dalam pendidikan umum dan pendidikan agama.
Model pembelajaran Pendidikan Agama (pengajaran tentang agama) terpadu yang banyak diterapkan adalah yang dikemukakan oleh Brenda Watson, yaitu Essentialist religious education model. Model ini berupaya membentuk kepribadian secara padu, meliputi akal, hati dan jiwa, serta mendukung upaya memadukan kurikulum atau mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum dengan menjadikan mata pelajaran agama sebagai dasar bagi mata pelajaran lain dalam kurikulum, serta memadukan sesuatu yang dipelajari siswa dengan pengalamannya melalui refleksi diri yang dilakukan siswa[6].
Model tersebut banyak digunakan dalam system pendidikan full day schooll di lembaga-lembaga pendidikan yang menggunakan identitas Islam.  Di sekolah berlabel Islam, FDS dilengkapi dengan muatan spiritual seperti: paket mengaji al-Quran, kursus bahasa Arab atau Inggris, dan sebagainya.
Secara utuh dapat dilihat bahwa pelaksanaan system pendidikan full day school dan terpadu mengarah pada beberapa tujuan ,antara lain:
1)        Untuk memberikan pengayaan dan pendalaman materi pelajaran yang telah ditetapkan oleh diknas sesuai jenjang pendidikan
2)        Memberikan pengayaan pengalaman melalui pembiasaan-pembiasaan hidup yang baik untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3)        Melakukan pembinaan kejiwaan, mental dan moral peserta didik disamping mengasah otak agar terjadi keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani sehingga terbentuk kepribadian yang utuh. 
4)        Pembinaan spiritual Intelegence peserta didik melalui penambahan materi-materi agama dan kegiatan keagamaan sebagai dasar dalam bersikap dan berperilaku.

B.                 Latar Belakang Munculnya Full Day Schooll dan Pendidikan Terpadu
Full day school pada awalnya muncul pada awal tahun 1980-an di Amerika Serikat. Pada waktu itu full day school dilaksanakan untuk jenjang sekolahTaman Kanak-kanan dan selanjutnya meluas pada jenjang yang lebih tinggi mulai dari SD sampai dengan menengah atas.
Ketertarikan para orang tua untuk memasukkan anaknya ke full day school dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu karena semakin banyaknya kaum ibu yang bekerja di luar rumah dan mereka banyak yang memiliki anak berusia di bawah 6 tahun, meningkatnya jumlah anak-anak usia prasekolah yang ditampung di sekolah-sekolah milik public (masyarakat umum), meningkatnya pengaruh televisi dan mobilitas para orang tua, serta kemajuan dan kemodernan yang mulai berkembang di segala aspek kehidupan. Dengan memasukkan anak mereka ke fullday school, mereka berharap dapat memperbaiki nilai akademik anak-anak mereka sebagai persiapan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan sukses, juga masalah-masalah tersebut di atas dapat teratasi. Dan dalam hasil penelitian ini disebutkan bahwa anak yang menempuh pendidikan di fullday school terbukti tampil lebih baik dalam mengikuti setiap mata pelajaran dan menunjukkan keuntungan yang cukup signifikan.
Adapun munculnya system pendidikan full day school di Indonesia diawali dengan menjamurnya istilah sekolah unggulan sekitar tahun 1990-an, yang banyak dipelopori oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah yang berlabel Islam. Dalam pengertian yang ideal, sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran bergantung pada system pembelajarannya. Namun faktanya sekolah unggulan biasanya ditandai dengan biaya yang mahal, fasilitas yang lengkap dan serba mewah, elit, lain daripada yang lain, serta tenaga-tenaga pengajar yang “professional”[7], walaupun keadaan ini sebenarnya tidak menjamin kualitas pendidikan yang dihasilkan. Term unggulan ini yang kemudian dikembangkan oleh para pengelola di sekolah-sekolah menjadi bentuk yang lebih beragam dan menjadi trade mark,  diantaranya adalah fullday school dan sekolah terpadu.
Sesuai dengan pembahasan tema yang juga menyinggung tentang pendidikan terpadu sebagai upaya memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama, maka pada pembahasan sejarah tentang hal ini, akan juga mengupas tentang hal tersebut. Secara historis-sosiologis, pendidikan terpadu lahir sebagai implikasi dari proses perkembangan perubahan paradigma pengembangan pendidikan Islam sejak abad pertengahan, dimana tercipta dikotomi antara pendidikan agama yang menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu agama dengan pendidikan umum yang menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu non agama (pengetahuan)[8] Pendidikan terpadu merupakan salah satu wujud implementasi paradigma yang berusaha mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, memiliki kematangan professional sekaligus hidup dalam nilai-nilai islami[9].
Konsep  pendidikan terpadu ini telah menjadi topic pembicaraan di kalangan cendekiawan Islam sejak beberapa dasawarsa terakhir. Ia merupakan kristalisasi dari rekomendasi Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam pertama yang diselenggarakan di Mekkah. Ide tersebut terus bergulir ke berbagai Negara, bahkan di Negara-negara non muslim[10].
Di Indonesia, ide tersebut agak terlambat sampainya, karena situasi yang tidak kondusif dan baru memperoleh momentumnya pada era reformasi dengan banyaknya bermunculan sekolah Islam terpadu, mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas. Dengan adanya sekolah-sekolah Islam terpadu, maka muncullah jaringan sekolah Islam terpadu(JSIT) di seluruh Indonesia[11].
Tentang perlunya model pendidikan terpadu, disampaikan oleh presiden Soekarno dalam catatannya, “Di Bawah Bendera Revolusi”, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sebaiknya juga mengajarkan pengetahuan umum. Bahkan menurutnya, Islam science bukan hanya pengetahuan Qur’an dan hadits saja, Islam science adalah pengetahuan Qur’an dan hadits plus pengetahuan umum[12].
Mimpi Soekarno di atas, dapat kemudian dilihat di Pondok Modern Darussalam Gontor. Kurikulum yang diterapkan Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% umum dan 100% agama. Di samping pelajaran tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh yang diajarkan di pesantren tradisional, Imam Zarkasyi menambahkan ke dalam kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu, pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, al-jabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya[13].
C.      Karakteristik Sistem Pembelajaran FDS dan Terpadu
a.    Sistem pembelajaran FDS
Full Day School (FDS) menerapkan suatu konsep dasar “Integrated-Activity” dan “Integrated-Curriculum”. Hal inilah yang membedakan dengan sekolah pada umumnya. Dalam FDS semua program dan kegiatan siswa di sekolah, baik belajar, bermain, beribadah dikemas dalam sebuah sistem pendidikan. Titik tekan pada FDS adalah siswa selalu berprestasi belajar dalam proses pembelajaran yang berkualitas yakni diharapkan akan terjadi perubahan positif dari setiap individu siswa sebagai hasil dari proses dan aktivitas dalam belajar.
Adapun prestasi belajar yang dimaksud terletak pada tiga ranah, yaitu:
1)      Prestasi yang bersifat kognitif
Adapun prestasi yang bersifat kognitif seperti kemampuan siswa dalam mengingat, memahami, menerapkan, mengamati, menganalisa, membuat analisa dan lain sebagianya. Konkritnya, siswa dapat menyebutkan dan menguraikan pelajaran minggu lalu, berarti siswa tersebut sudah dapat dianggap memiliki prestasi yang bersifat kognitif.
2)      Prestasi yang bersifat afektif
Siswa dapat dianggap memiliki prestasi yang bersifat afektif, jika ia sudah bisa bersikap untuk menghargai, serta dapat menerima dan menolak terhadap suatu pernyataan dan permasalahan yang sedang mereka hadapi.
3)      Prestasi yang bersifat psikomotorik
Yang termasuk prestasi yang bersifat psikomotorik yaitu kecakapan eksperimen verbal dan nonverbal, keterampilan bertindak dan gerak. Misalnya seorang siswa menerima pelajaran tentang adab sopan santun kepada orang lain, khususnya kepada orang tuanya,  maka si anak sudah dianggap mampu mengaplikasikannya dalam kehidupannya[14].
Sebelum kita membahas tentang sistem pembelajaran FDS, tentunya kita perlu mengetahui tentang makna sistem pembelajaran itu sendiri. Sistem adalah seperangkat elemen yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistem pembelajaran adalah suatu sistem karena merupakan perpaduan berbagai elemen yang berhubungan satu sama lain. Tujuannya agar siswa belajar dan berhasil, yaitu bertambah pengetahuan dan keterampilan serta memiliki sikap benar. Dari sistem pembelajaran inilah akan menghasilkan
sejumlah siswa dan lulusan yang telah meningkat pengetahuan dan keterampilannya dan berubah sikapnya menjadi lebih baik[15].
Adapun proses inti sistem pembelajaran FDS antara lain:
1)  Proses pembelajaran yang berlangsung secara aktif, kreatif, tranformatif sekaligus intensif. System persekolahan dan pola fullday school mengindikasikan proses pembelajaran yang aktif dalam artian mengoptimalisasikan seluruh potensi untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal baik dalam pemanfaatan sarana dan prasarana di lembaga dan mewujudkan proses pembelajaran yang kondusif demi pengembangan potensi siswa yang seimbang.
2)  Proses pembelajaran yang dilakukan selama aktif sehari penuh tidak memforsir siswa pada pengkajian, penelaahan yang terlalu menjenuhkan. Akan tetapi, yang difokuskan adalah system relaksasinya yang santai dan lepas dari jadwal yang membosankan[16].
1.      Sistem pembelajaran pendidikan terpadu
Kurikulum terpadu merupakan suatu produk dari usaha pengintregasian bahan pelajaran dan berbagai macam pelajaran. Integrasi diciptakan dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin ilmu.
Menurut Soetopo dan Soemanto, sebagaimana dikutip oleh Abullah Idi, kurikulum terpadu dikelompokkan menjadilimamacam, yaitu:
1.      The Child Centered Curriculum (kurikulum yang berpusat pada anak)
2.      The Social Function Curriculum (Kurikulum Fungsi Sosial)
3.      The Experience Curriculum (Kurikulum Pengalaman)
4.      Development Activity Curriculum (Kurikulum Pengembangan  Kegiatan)
5.      Core Curriculum
Pada prinsipnya, sekolah Islam terpadu merupakan perubahan atas kegagalan yang dilakukan sekolah umum dan lembaga pendidikan Islam, untuk memadukan ilmu umum dan agama. Sehingga, dalam praktiknya, sekolah Islam terpadu melakukan pengembangan kurikulum dengan cara memadukan kurikulum pendidikan umum yang ada di Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), seperti pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan lain-lain, serta kurikulum pendidikan agama Islam yang ada di Kementrian Agama (Kemenag), ditambah dengan kurikulum hasil kajian Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT)[17].
Model pendidikan terpadu berbeda dengan sekolah-sekolah yang menggunakan label Islam yang selama ini berkembang di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan yang menggunakan identitas Islam tersebut, jika ditilik dari aims and objectives-nya masih terkesan pragmatis dan utilitarian, serta secara epistimologis pada umumnya masih tetap mengacu kepada dualisme yakni adanya dikotomi antara ilmu Islam dengan umum. Sedangkan model pendidikan Islam terpadu mengembangkan kedua ranah tersebut secara seimbang dan terpadu.
Bangunan keilmuan yang dikembagkan oleh model ini tidak dilihat secara dikotomis melainkan dilihat secara padu dan utuh (integral). Paradigma yang dibangun adalah bahwa kebenaran di jagad ini tidak akan lengkap hanya didekati oleh kerja nalar dan observasi yang disebut dengan kebenaran ilmiah. Selain itu ada kebenaran intuitif dan juga kebenaran wahyu. Pendidikan Islam Terpadu menginginkan penggalian kebenaran melalui sumber-sumber yang lebih komprehensif. Hal itu dapat ditemukan dengan cara memadukan berbagai sumber, baik yang bersifat ilmiah maupun yang dapat digali dari sumber kitab suci (al-Qur’an dan Hadits). Antara ilmu dan agama dilihat dan fungsikan secara padu, selain sama-sama untuk menggali kebenaran juga masaing-masing bersifat komplementer. Al-qur’an akan dapat dipahami secara lebih luas dan mendalam jika menyertakan ilmu dan sebaliknya ilmu akan berkembang jika mendapat inspirasi dari penuturan al-qur’an, yaitu bangunan keilmuan yang diharapkan mencerminkan universitas Islam[18].
C.     KEUNGGULAN DAN KEKURANGAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN FULL DAY SCHOOL
 Pada awal abad 20 M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan, yaitu: Pertama, pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tak mengenal ajaran agama, dan Kedua, pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal pendidikan agama saja.
Pendidikan Islam di Indonesia banyak terselenggara dalam bentuk pendidikan pesantren dan madrasah. Menurut Dahlan Hasim dalam Fadjar[19], madrasah oleh sebagian masyarakat masih dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”. Akibatnya, meskipun secara yuridis keberadaan madrasah diakui sejajar dengan sekolah formal lain, madrasah umumnya hanya diminati oleh siswa-siswa yang kemampuan inteligensi dan ekonominya relatif rendah atau ”pas-pasan”. Sementara masyarakat menengah atas sepertinya enggan menyekolahkan anaknya ke lembaga ini, sehingga usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah selalu mengalami hambatan.
Rendahnya animo masyarakat menengah atas (upper midle class) untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah, dilihat dari perspektif fungsional—sebuah teori yang berpandangan bahwa masyarakat merupakan kesatuan sistem yang saling bergantung dan berhubungan—mengindikasikan dua hal yang saling berkorelasi; pertama, terkait dengan problem internal kelembagaan., dan kedua, terkait dengan parental choice of education. Problem internal madrasah yang selama ini dirasakan, seperti dikatakan Malik Fadjar, meliputi seluruh sistem kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja madrasah, kualitas dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana fisik dan fasilitasnya.
Tidak sedikit orang tua dari peserta didik yang gelisah dan mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah umum yang lebih menjanjikan pada aspek ilmu pengetahuan umum dan teknologi, dengan harapan agar di masa yang akan datang anak-anak mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa hidup dengan layak di tengah masyarakat[20].
Harus diakui bahwasanya pendidikan Islam menempati posisi yang kurang menguntungkan di negara Indonesiaini. Bahkan ada asumsi di masyarakat bahwasanya prestasi lulusan madrasaah berada di bawah sekolah umum. Hal inilah yang kemudian kepercayaan dan minat masyarakat lebih bangga menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah umum. Untuk menjembatani permasalahan di atas, maka dibukalah program sekolah terpadu kurikulumnya (agama dan umum) dengan menggunakan sistem full day school (dengan menambah jam belajar untuk pendalaman materi).
Tidak hanya karena keterbelakangan pendidikan Islam yang kalah dibanding pendidikan umum, bukan satu-satunya alasan atas hadirnya pendidikan terpadu. Namun kehidupan manusia yang semakin komplek terutama di perkotaan. Menumpuknya kesibukan orang tua di masyarakat perkotaan seringkali berimbas pada pendidikan anak. Bahkan ketidakjelasan pendidikan sekolah, juga menambah permasalahan di pergaulankota. Sehingga mereka benar-benar membutuhkan sebuah pendidikan yang dapat memberikan pendidikan pengetahuan umum dan pendidikan agama secara bersamaan. Dengan inilah, pendidikan terpadu sangat penting adanya di dalam masyarakat perkotaan.
Krisis moneter dan diikuti krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia, boleh jadi berpangkal pada krisis akhlak. Banyak kalangan menyatakan bahwanya akhlak erat kaitannya dengan moral. Hal itu sangat berhubungan dengan urusan agama. Menurut Fazlur Rahman dalam Said Aqil Husain Munawar, ia menyatakan bahwasanya inti ajaran agama adalah moral yang bertumpu pada keyakinan kepercayaan kepada Allah (habl min Allah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama manusia (habl min al-Nas)[21].
Beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya aspek keagamaan sebagai salah satu aspek yang perlu disentuh dalam pendidikan, juga sudah mulai mewabah di masyarakat, Seringkali kita mendengar  pepatah, science without religion is blind, and religion without science is lame. Sama halnya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan agama adalah buta. Jadi wajar kalau mudah menabrak saat berjalan, walaupun dengan menggunakan tongkat, berjalannya akan tetap lambat, membutuhkan waktu yang lama. Bagitu juga akan menjadi lumpuh jika pengetahuan karakter tanpa hadirnya pengetahuan kognitif. Karena hal ini berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikendalikan oleh orang lain. Dengan demikian keduanya sama-sama dibutuhkan dan diharapkan dapat terintegrasi dalam nilai-nilai agama.
Hadirnya pendidikan terpadu dengan sistem full day school merupakan solusi yang tepat untuk menjembatani keseimbangan antara pengetahuan umum yang seringkali diidentikkan dengan penyelenggaraan pendidikan kognitif, yang digandengkan dengan pendidikan agama secara seimbang. Era globalisasi, dewasa ini dan di masa mendatang, sedang dan terus memengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesiaumumnya, atau pendidikan Islam, khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi,bahwa masyarakat muslim tidak ingin survive dan berjaya di teerjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad ke-21 

D.   KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang system pendidikan full day school dan terpadu di atas dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Full day school mengandung arti system pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar sehari penuh dengan memadukan system pengajaran yang intensif yakni dengan menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran serta pengembangan diri dan kreatifitas.
2.      Pendidikan terpadu artinya memadukan ilmu umum dengan ilmu agama secara seimbang dan terpadu.
3.      Pelaksanaan system pendidikan full day school dan terpadu mengarah pada beberapa tujuan ,antara lain:
a)  Untuk memberikan pengayaan dan pendalaman materi pelajaran yang telah ditetapkan oleh diknas sesuai jenjang pendidikan
b)  Memberikan pengayaan pengalaman melalui pembiasaan-pembiasaan  hidup yang baik untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
c)   Melakukan pembinaan kejiwaan, mental dan moral peserta didik disamping mengasah otak agar terjadi keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani sehingga terbentuk kepribadian yang utuh.
d)   Pembinaan spiritual Intelegence peserta didik melalui penambahan materi-materi agama dan kegiatan keagamaan sebagai dasar dalam bersikap dan berperilaku.
4.      Full Day School (FDS) menerapkan suatu konsep dasar “Integrated-Activity” dan “Integrated-Curriculum” dan berorientasi pada prestasi belajar siswa yang mencakup 3 ranah, kogitif, afektif dan psikomotorik.
5.      Proses sistem pembelajaran fullday school berlangsung secara aktif, kreatif, tranformatif sekaligus intensif, namun dikemas dengan system yang relaks dengan jadwal yang tidak membosa 

DAFTAR PUSTAKA
Aqil, Said, Husain Munawar. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani. Ciputat: Ciputat Press. 2005.
Arifin, Zainal. Pengembangan Managemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam,Yogyakarta: DIVA Press, cet.1. 2012.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2012.
Departer, Bobbi., Mark Reardon & Sarah Singger Naurie, Quantum Teaching (Mempraktekan Quantum teaching di ruang kelas-kelas),Bandung: Kaifa. 2003.
Echols, Jhon M. & Hassan Shadily, t.th. Kamus Inggris Indonesia,Jakarta: Gramedia. 2008
Fadjar. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan. 1998.
Hasan, Noer, Fullday School (Model alternatif pembelajaran bahasa Asing), Jurnal Pendidikan Tadris. Vol 11. 2006.
Miarso, Yudihadi, dkk, Teknologi Komunikasi Pendidikan, Jakarta: CV. Rajawali. 1986.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam,Bandung: Nuansa. 2003.
Muhaimin, dkk,. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,Jakarta: Remaja Rosdakarya, cet.1. 2001.
Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. 2005.
Rassidy, Imron, Pendidikan berparadigma Inklusif ,Malang: UIN Press. 2009.
Sismanto, “Awal Munculnya Sekolah Unggulan”, Artikel. 2007.
Steenbrink Karel A, Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES. 1974.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Terpadu, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004.




[1] Azyumardi Azra. Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 33
[2] Jhon M Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, t. th), hlm. 260.
[3] Sekolah Indonesia. Com/Alirsyad/smu/muqaddimah. Htm/ (2 Juni 2012).
[4] Bobbi Departer., Mark Reardon & Sarah Singger Naurie, Quantum Teaching (Mempraktekan Quantum teaching di ruang kelas-kelas), (Bandung: Kaifa, 2003), hlm. 7.
[5] Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif,  (Malang: UINMalang Press, 2009), hlm. 71.
[6] Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif,  (Malang: UINMalang Press, 2009), hlm. 88.
[7] Sismanto, “Awal Munculnya Sekolah Unggulan”, Artikel  (7 oktber 2016)
[8] Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, cet.1, 2001), hlm. 38-39.
[9] Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, cet.1, 2001), hlm. 45-46.
[10] Rossidy, Pendidikan berparadigma, hlm. 74.
[11] Zainal Arifin, Pengembangan Managemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, (Yogyakarta: DIVA Press, cet.1, 2012), hlm. 30-31.
[12] karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah. (Jakarta: LP3ES, 1974), hlm. 227
[13] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm. 208-209.
[14] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Terpadu. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 154-156.
[15] Yudihadi Miarso, dkk, Teknologi Komunikasi Pendidikan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 33-34.
[16] Noer Hasan, Fullday School (Model alternatif pembelajaran bahasa Asing). (Jurnal Pendidikan Tadris. Vol 11, 2006), hlm. 110-111.
[17] Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen, hlm. 33.
[18] Imron Rassidy, Pendidikan , hlm. 71-72
[19] Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas,Bandung: Mizan, 1998, 9
[20] Said Aqil Husain Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani. (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hlm. 29.
[21] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Bandung: Nuansa, 2003), hlm. 70.
[22] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 41.

1 comment: